Rabu, 30 Mei 2012

TILAKHANA, PATTICA SAMMUPPADA, TUMIMBAL LAHIR DAN NIBBANA

TILAKHANA, PATTICA SAMMUPPADA,
TUMIMBAL LAHIR DAN NIBBANA


Makalah
Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Agama Buddha


Dosen
pembimbing     : 1. Drs. H. Roswen Dja’far
                         2. Hj.Siti Nadroh, M.Ag


 Iis Solihah            (1110032100025 )
Firdan
Bagus Prangesta ( 1110032100016)


JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA


2012

Pendahuluan


Bila
manusia berada dalam Dhamma, ia akan dapat melepaskan dirinya dari penderitaan
dan akan mencapai Nibbana, yang merupakan akhir semua derita. Nibbana tidak
dapat dicapai dengan cara sembahyang, mengadakan upacara – upacara atau memohon
kepada para dewa. Akhir derita hanya dapat dicapai dengan meningkatkan
perkembangan bathin.


Perkembangan
bathin ini hanya dapat terjadi dengan jalan berbuat kebajikan, mengendalikan
pikiran dan menyucikan bathin, sehingga dapat menaklukan badai di hati serta
mengembangkan cinta kasih dan kasih sayang dalam dirinya kepada semua makhluk.


Dengan
demikian, Buddha Dhamma adalah agama yang pada hakekatnya mengajarkan hokum –
hokum abadi, pelajaran tata susila yang mulia, ajaran agama yang mengandung
faham – faham filsafat yang mendalam, yang merupakan keseluruhan yang tak dapat
dipisah – pisahkan.


Buddha Dhamma
memberikan pada para penganutnya suatu pandangan tentang hokum abadi, yaitu
hokum – hokum alam semesta sebagai kekuatan yang menguasai dan mengaturnya.























A.    Tilakkhana


Tilakkhana
artinya Tiga Corak yang universil dan ini termasuk Hukum kesunyataan, berarti
bahwa hokum ini berlaku di mana – mana dan pada setiap waktu. Jadi Hukum ini
tidak terikat oleh waktu dan tempat.[1]


a.     
Sabbe Sankhara
Anicca


Segala
sesuatu dalam alam semesta ini, yang terdiri dari paduan unsure – unsure adalah
tidak kekal dan sebagai umat Buddha melihat segala sesuatu dalam alam semesta
ini tidak lain sebagai sesuatu proses yang selalu dalam keadaan bergerak.


b.    
Sabbe Sankhara
Dukkha


Apa
yang tidak kekal itu adalah tidak memuaskan dan oleh karenanya adalah
penderitaan.


c.     
Sabbe Dhamma
Anatta


Segala
sesuatu yang bersyarat maupun yang tidak bersyarat ( Nibbana ) adalah tanpa
inti yang kekal, karena tanpa pemilik dan juga tidak dapat dikuasai.


Disamping
paham Anatta yang khas ajaran YMS Buddha Gotama, terdapat pula dua paham
lainnya yaitu :


1.    
Attavada, ialah
paham bahwa atma ( roh ) adalah kekal abadi dan akan berlangsung sepanjang
masa. Paham ini tidak dibenarkan oleh YMS Buddha Gotama.


2.    
Ucchedavada,
ialah paham bahwa setelah mati atma ( roh ) itu pun akan ikut lenyap. Paham ini
juga tidak dibenarkan oleh YMS Buddha Gotama.


Tiga
Corak Umum Yaitu : Anicca, Dukkha dan Anatta

a.      Anicca


Kata
anicca berarti Tidak kekal, yaitu segala sesuatu yang ada di alam semesta ini
terus menerus mengalami perubahan.


Terdapatlah
dua factor, yaitu pembentukan ( uppada ) dan penghancuran ( nirodha )yang
berlangsung terus menerus, yang tidak pernah berhenti walau sekejap pun.


Di
dalam kitab suci Tipitaka mengatakan, bilamana seorang telah menebus
kesunyataan atau Dhamma, ia akan menyadari, segala sesuatu yang terbentuk pasti
akan lenyap kembali.

b.      Dukkha


Pembahasan
yang kedua dari Tilakkhana atau tiga corak umum, ialah tentang kenyataan dari
Dukka atau penderitaan, merupakan corak yang khas dari semua kehidupan (
samsara ), yaitu tentang ketidakpuasan pada umumnya.


Arti
istilah Dukkha yang dimaksudkan dalam pandangan di bidang filsafat umum, adalah
suatu perasaan atau pikiran yang tidak puas, yang timbul karena tidak
tercapainya suatu keinginan atau yang timbul karena perubahan – perubahan  yang senantiasa terjadi di dalam diri maupun
diluar diri kita.


Menurut
YMS Buddha Gotama, bahwa permulaan, kelangsungan dan pengakhiran dari suatu
keadaan yaitu seluruh alam ( loka ) dari setiap makhluk hidup,adalah berpusat
pada pribadinya sendiri, yakni kelima kelompok kehidupan merupakan pribadi,
yaitu terdiri atas jasmani, perasaan, pencerapan, sankhara ( bentuk pikiran )
dan kesadaran. Jelas bahwa bentuk jasmani adalah salah satu unsure pribadi yang
dapat dilihat.


Yang
menimbulkan Dukkha menurut Hukum Paticca Sammuppada yaitu :


1.      Tanha
Diikuti Oleh Upadana


Tanha yaiu keinginan atau kehausan atau
kerinduan, dan upadana yaitu kemelekatan
atau ikatan untuk mencapai sesuatu yang di inginkannya.


2.      Upadana
Diikuti oleh Bhava


Bhava sesungguhnya yang berarti
terbentuk dan disini diartikan sebagai terbentuknya proses kehidupan kita. Maka
bergantung kepada Upadana terbentuknya proses kehidupan kita.


3.      Bhava
Diikuti oleh Jati, Jaramarana


Jika Bhava ( proses kehidupan atau arus
penjelmaan ) ini terbentuk, maka timbullah kelahiran, usia tua, kematian,
mengalami kesuksesan atau kegagalan, dengan demikian timbulah segala macam
penderitaan.





c.       Anatta


Anatta
ini, adalah suatu corak yang universal, yang meliputi semua keadaan dari bentuk
– bentuk jasmani dan rohani.


Untuk
lebih jelasnya, marilah kita hubungkan beberapa masalah dengan Anatta :


1.      Substansi
Zat


2.      Aku
– Diri – Ego


3.      Yang
sama atau berbeda


4.      Apakah
manusia itu


5.      Pancakkhandha
atau lima kelompok kehidupan


6.      Tumimbal
Lahir ( kelahiran kembali )


7.      Prinsip
yang menggerakan hidup


8.      Keadaan
bathin atau jiwa atau rohani


9.      Apa
yang dilupakan tidak lenyap sama sekali


10.  Bawah
sadar kita sanga giat bekerjanya


Dari
uraian diatas jelas bahwa ketiga pengertian dari Anicca, Dukkha, Anatta adalah
merupakan tiga batu pilar dari semua bangunan agama Buddha.



B.     Pattica Samuppada


1.      Bunyi
hokum Pattica Samuppada


Perkataan  pattica samuppada terdiri atas : Pattica
artinya disyaratkan dan kata Samuppada artinya muncul bersamaan. Jadi perkataan
pattica samuppada artinya kurang lebih yaitu muncul bersamaan karena syarat
berantai, atau terjemahan yang sering terlihat dalam buku – buku, yaitu Pokok
permulaan sebab akibat yang saling bergantungan.


Prinsip dari ajaran hokum pattica
samuppada diberikan dalam empat rumus / formula pendek yang berbunyi sebagai
berikut :


1.      Imasming
sati idang hoti

Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.


2.      Imassupada
idang uppajjati

Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu




3.      Imasming
asati idang na hoti


Dengan tidak adanya ini, maka tidak
adalah itu


4.      Imassa
nirodha idang nirujjati


Dengan terhentinya ini, maka terhentilah
juga itu




Berdasarkan prinsip
dari saling menjadikan relativitas, dan saling bergantungan, maka seluruh
kelangsungan dan kelanjutan hidup, dan juga berhentinya hidup telah diterangkan
dalam satu rumus / formula dari dua belas pokok yang dikenal sebagai pattica
samuppada.


Kedua belas pokok itu berbunyi sebagai
berikut :


1.      Avijja
paccaya sankhara


Dengan adanya ketidaktahuan, maka
terjadilah benuk – bentuk kamma


2.      Sankhara
paccaya vinnanang


Dengan adanya bentuk – bentuk kamma,
maka terjadilah kesadaran


3.      Vinnana
paccaya namarupang


Dengan adanya kesadaran, maka terjadilah
rohani – jasmani


4.      Namarupa
paccaya salayatanang


Dengan adanya rohani – jasmani, maka
terjadilah enam landasan indriya


5.      Salayatana
paccaya phasso


Dengan adanya enam landasan indriya,
maka terjadilah kontak / kesan – kesan


6.      Phassa
paccaya vedana


Dengan adanya kontak / kesan, maka
terjadilah perasaan


7.      Vedana
paccaya tanha


Dengan adanya perasaan, maka terjadilah
keinginan / kehausan


8.      Tanha
paccaya upadanang


Dengan adanya tanha, maka terjadilah
kemelekatan


9.      Upadana
paccaya bhavo


Dengan adanya kemelekatan, maka
terjadilah proses penjelmaan


10.  Bhava
paccaya jati


Dengan adanya proses penjelmaan, maka
terjadilah kelahiran




11.     Jati
paccaya jaramaranang


Dengan adanya tumimbal
lahir, maka terjadilah kelapukan, keluh kesah, sakit, kematian dll


12.     Jara
marana


Kelapukan, keluh kesah,
sakit, kematian dll, sebagai akibat dari tumimbal lahir.


Beginilah kehidupan timbul, berlangsung
dan bersambung terus. Jika kita ambil rumus tersebut dalam arti yang
sebaliknya, maka sampailah kepada penghentian dari proses itu.


Pattica samuppada ini
adalah merupakan obyek dasar dari Vipassana Bhavana termasuk salah satu obyek
dari keenam obyek dasar vipassana bhavana, yaitu[2] :


a.       Khadha
5 / Pancakkhandha


b.      Dhatu
18


c.       Ayatana
12


d.      Indriya
22


e.       Pattica
samuppada


f.       Ariya
Sacca / Cattari ariya saccani


2.      Pattica
Samuppada Bersifat Ilmiah


Pokok permulaan  sebab akibat yang saling bergantungan atau
muncul bersamaan karena syarat – syarat yang salaing bergantungan yang dapa
dinyatakan dengan ; “ Bergantung kepada ini maka timbullah itu, atau oleh
karena adanya ini maka itupun ada. Seluruh alam semesta ini dikuasai oleh hokum
Paticca samuppada.


Hukum paticca samuppada
ini adalah tidak sama dengan hokum sebab akibat dari Aristoteles, seorang
filsuf abad ke lima Sebelum Masehi. Menurut hokum Paticca Samuppada, bahwa dua
kejadian itu tidak dapat dianggap terpisah secara tegas satu dari yang lainnya,
oleh karena keduanya itu merupakan mata rantai yang berurutan didalam suatu
proses yang tidak mengenal sela – sela ( batas ).


Tiada sesuatu kejadian
di alam semesa ini yang berdiri sendiri secara mulak. Sesuatu sebab tidak
mungkin berdiri sendiri tanpa ada bersama – sama dengan akibatnya.


Penggunaan Hukum
paticca samuppada untuk menjelaskan adanya derita, dimana YMS Buddha Gotama
merenungkan sebab musabab daripada kematian, kelapukan, dan kesengsaraan.
Berbeda sekali dengan penjelasan dari orang – orang lainnya, yang masih banyak
diliputi ketahayulan, dan Beliau tidak percaya bahwa penderitaan manusia
disebabkan oleh karena murkanya dewa – dewa yang bermacam – macam.


 Beliau mempergunakan akal pikiran, sehingga
penyelidikan – penyelidikannya bersifat ilmiah. Kemudian dicobanya untuk
mencari sebab musabab penderitaan manusia berdasarkan hokum paticca samuppada.


Rumusan
keseluruhan hokum pattica Samuppada itu diringkas sebagi berikut :


“ Dengan adanya ini,
adalah itu, dengan timbulnya ini, timbula itu. Dengan tidak adanya ini, tidak
adalah itu, dengan lenyapnya ini, lenyaplah itu.”





C.    Tumimbal Lahir


Tumimbal
lahir adalah hokum kelahiran kembali. Semua makhluk akan terus dilahirkan
kembali di berbagai alam kehidupan ( sesuai dengan karmanya masing – masing )
selama masih di cengkeram oleh tanha ( nafsu keinginan yang tak kunjung padam )
dan avidya ( ketidaktahuan ).[3]
Menurut pandangan Agama Buddha, ada 31 alam kehidupan sebagai tempat makhluk
hidup ber – tumimbal lahir sebelum mencapai kebahagiaan kekal abadi ( Nirvana
).


Tumimbal
lahir makhluk hidup ada empat cara, yaitu :


a.       Jalabuja
Yoni   : Makhluk yang lahir dalam
kandungan


b.      Andaja
Yoni     : Makhluk yang lahir dari telur


c.       Sansedaja
Yoni : Makhluk yang lahir dari kelembaban


d.      Opapatika
Yoni : Makhluk yang lahir dari secara spontan


Yang
tak terpisahkn dari hokum karma adalah kepercayaan terhadap tumimbal lahir. Ini
merupakan penjelasan yang di berikan oleh sang Buddha mengenai betapa secara
tak terelakan akibat selalu mengikuti sebab. Konsep ini sama pentingnya dengan
konsep tentang ketidak kekalan universal.


Menurut
sang Buddha, masing – masing benda muncul karena sesuatu yang lain
mendahuluinya. Peristiwa material dan mental sama – sama memiliki penyebab, dan
rantai kejadian ini bersifat konstan. Hukum tumimbal lahir ini menjelaskan
betapa beberapa hal tampaknya memiliki kekekalan sehingga seakan – akan abadi.


Tumimbal
lahir menjelaskan suatu jalan tengah di antara kedua hal yang bertentangan
tersebut. Segala sesuatu memiliki eksistensi tetapi tidak abadi. Bahwa kita ada
memang bukan ilusi ; bahwa kita abadi dan memilki inti diri yang terpisah dari
yang ilusi. Ketika kita melupakan tumimbal lahir, sabda Sang Buddha, maka kita
menderita, sedangkan mengingat kebenarannya akan membuat penderitaan kita
berakhir.


Tumimbal
lahir merupakan sarana bagi sang Buddha untuk mengajarkan kepada pengikutnya
bahwa mereka adalah penunjuk keberuntungan mereka sendiri. Beliau membelokan
pertanyaan metafisis tentang hal yang tak bisa diketahui untuk hanya berurusan
dengan hal – hal yang jelas memiliki manifestasi seperti adanya ketidaktahuan
di dalam dunia, tak peduli apapun yang menyebabkannya.


Jumlah
yang sebenarnya dari tumimbal lahir seperti diungkapkan oleh Sang Buddha
sebenarnya bervariasi di dalam berbagai subjek wacananya. Namun secara umum
ditampilkan 12 hal ( 12 mata rantai saling bergantungan ) yang dianggap telah
mewakili ajarannya.

1.      Ketidaktahuan


Dari ketidaktahuan, munculah penderitaan
dan roda kejadian. Hal ini menghasilkan pengindraan yang salah mengenai diri
atau ego yang terikat pada kehidupan. Ketidaktahuan memisahkan kita dari dunia
dan merupakan akar dari perbuatan kita.

2.      Kecenderungan


Dari ketidaktahuan, muncul pula
kecenderungan dari dalam yang bisa digolongkan sebagai baik atau buruk.
Kecenderungan dari dalam terhadap aspirasi spiritual mungkin menghasilkan kelahiran
yang memberikan kesempatan terhadap peningkatan. Kecenderungan dari dalam
terhadap nafsu kekayaan mungkin menyebabkan kelahiran kembali di dalam keluarga
yang kaya.



3.      Kesadaran


Dari kegiatan yang memiliki tujuan,
muncullah kesadaran. Kesadaran tetap ada setelah kematian tubuh fisik, indra,
dan persepsi. Dari kesadaran muncul kelahiran baru, kecuali kalau kesadaran itu
berakhir dengan pembebasan pada saat kematian. Kesadaran diri adalah penyebab
kelahiran kembali ( reinkarnasi ).


4.      Nama
dan Bentuk


Dari kesadaran muncul nama – nama dan
bentuk – bentuk.


Suatu objek adalah konsep yang tanpa
makna kalau tak mempunyai kaitan dengan suatu objek, keduanya saling
ketergantungan.

5.      Pengindraan


Dari nama, bentuk, dan kesadaran muncul
enam indra ( Buddhis ) : penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan,
penyentuhan dan aktivitas mental.

6.      Kontak


Dari enam indra muncul organ eksternal
yang digunakan untuk berhubungan dengan dunia luar.

7.      Perasaan


Dari kontak dengan hal – hal eksternal /
aktivitas mental, muncul perasaan dan emosi.


8.      Idaman
atau Kerinduan


Idaman menciptakan persepsi, agregat
kelima,atau khandha, salah satu dari lima unsure manifestasi, yang semuanya
menyebabkan kelahiran kembali. Penderitaan lenyap begitu idaman disingkirkan.

9.      Keterikatan


Muncul keterikatan kepada gagasan atau
objek di dunia dan anggapan mengenai apa yang kita rasakan dari itu.

10.  Keberadaan


Datang – untuk – ada muncul dari
kumpulan unsure – unsure makhluk yang diciptakan oleh idaman dan keterikatan
kita.


11.  Kelahiran
kembali ( reinkarnasi )


Dari ada, atau datang –untuk – ada,
muncullah kelahiran kembali yang sebenarnya berada di dalam ketidaktahuan dan
putaran roda Dharma lainnya. Hanya kesadaran akan nirvana yang dapat
membebaskan kita.


12.  Usia
Tua dan Kematian


Dari kelahiran kembali, muncullah
penderitaan terhadap berbagai pengalaman duniawi, kesedihan, usia tua, dan
kematian. Dari ketidaktahuan, kita mengakumulasikan agregat dan karma tanpa
akhir yang menyebabkan kelahiran kembali hingga kita mencapai pembebasan dari
roda kejadian.



D.    Nibbana


Nibbana
adalah kebahagiaan tertinggi, suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa.
Kebahagiaan nibbana tidak dapat dialami dengan memanjakan indera,tetapi dengan
menenangkannya. Nibbana adalah tujuan akhir ajaran Buddha.




Nibbana
dapat dicapai dalam hidup sekarang atau dapat pula dicapai setelah mati.


Nibbana
yang dicapai semasa hidup di dalam dunia ini, masih mengandung sisa – sisa
kelompok kehidupan yang masih ada, seperti yang dicapai oleh YMS Buddha Gotama
di dalam kehidupannya di dunia ini.


Demikian
pula halnya dengan Siddharta Gotama, yang terlahir sebagai putera raja
Suddhodana, harus akhirnya wafat, meskipun beliau telah menjadi Buddha dan
telah mencapai Nibbana dalam kehidupannya. Inilah yang dimaksud dengan nibbana
yang dicapai masih mengandung sisa – sisa kelima kelompok kehidupan yang masih
ada.


Kemudian  setelah YMS Buddha Gotama wafat, maka beliau
telah mencapai nibbana yang tidak lagi mengandung sisa – sisa kelima kelompok
kehidupan. Beliau telah bebas dari kelahiran, penderitaan, umur tua dan
kematian dan telah hidup dalam kebahagiaan yang kekal nan abadi.


Jadi
nibbana atau nirvana itu dibagi atas dua bagian yaitu :


1.      Nibbana
yang masih mengandung sisa – sisa kelima kelompok kehidupan yang masih ada dan
ini dicapai dalam kehidupan di dunia ini atau dalam kata Pali disebut SA
UPADISESA NIBBANA.


2.      Nibbana
yang tidak mengandung sisa – sisa kelima kelompok kehidupan, yang dicapai
setelah meninggal dunia atau dalam kata Pali disebut AN UPADISESA NIBBANA.

a.    
Delapan
Ruas Jalan Utama



Sifat nibbana adalah
Esa dan tidak diciptakan, mengandung ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi nibbana
itu harus dicapai dengan melaksanakan delapan ruas jalan utama.[4]


Bodhisattva pangeran Siddharta Gotama,
melalui pengalaman – pengalamannya sendiri telah menemukan jalan tengah yang
telah menghasilkan pandangan dan pengetahuan yang membawa beliau ke ketenangan,
pengertian benar, kesadaran agung dan nibbana.


Pada hakekatnya seluruh
ajaran YMS Buddha Gotama, yang disiarkannya sendiri untuk 45 tahun lamanya.
Beliau telah menerangkan dalam berbagai cara, dengan memakai aneka perkataan
kepada bermacam – macam orang, sesuai dengan tingkatan pengetahuan masing –
masing dan kesanggupan mereka untuk mengerti dalam mengikuti beliau.


Sari dari ribuan sutta
dalam kitab suci agama Buddha adalah mengenai delapan ruas jalan utama. Sangat
diharapkan sekali jangan sampai disalah tafsirkan, bahwa ruas jalan ( Magganga
) ini harus dilaksanakan menurut nomor urutan dari susunan yang kesatu sampai
yang kedelapan.


Tetapi sedikit
banyaknya harus dipertimbangkan bersama – sama, tentu saja tergantung dengan
keadaan dan kesanggupan tiap – tiap orang. Karena ruas – ruas jalan itu
sebenarnya satu sama lain saling bergantungan dan saling bantu membantu.


Maka delapan ruas jalan utama atau jalan
tengah itu lazim dibagi dalam tiga golongan yang lebih besar, yaitu :


a.       Sila
: Tata hidup yang susila dan beradab


b.      Samadhi
: Pembinaan disiplin mental

c.       Panna     : Kebijaksanaan / kebijaksanaan luhur




b.      Yang
Lenyap di Nibbana


Orang yang telah mencapai nibbana dapat
disebut “ orang yang sempurna “ seperti YMS Buddha Gotama. Orang yang sempurna
telah membuang semua ikatan terhadap jasmaninya perasaannya, pencerapannya,
bentuk – bentuk pikirannya dan kesadarannya sampai ke akar – akarnya dan
selanjutnya tidak dilahirkan kembali dalam kehidupan.


Sekarang orang sempurna
telah wafat, telah bebas dari ikatan badan jasmaninya, perasaanya, bentuk
pikirannya dan kesadarannya. Demikianlah orang yang sempurna merupakan badannya
Dhamma dan bersatu dengan Sanghyang Adi Buddha.


c.       Orang
yang telah mencapai Nibbana bebas dari lahir, derita, umur tua, dan mati ;
lobha, dosa dan moha.


Tiada lagi penderitaan
bagi mereka yang telah mencapai nibbana, yang telah terbebas dari penderitaan,
yang telah membebaskan diri dari segala ikatan nafsu. Manusia yang demikian
tidak lagi terikat oleh lingkaran Tumimbal Lahir dan kematian.


Cita – cita semua umat
budha, pertama – tama ialah untuk mencapai tingkat kesucian, untuk menjadi
manusia manusia suci atau arahat, atau menjadi Bodhisattva untuk mencapai
tingkat ke – Buddha –an dan Nibbana.


Mereka yang mencapai kebahagiaan Nibbana dapat
mengalaminya selama sisa keberadaan mereka sebagi manusia. Nibbana tidak
terkondisi, tidak relatif, atau tidak saling ketergantungan, jadi tiada lain
bahwa Nibbana adalah kebenaran Mutlak.























Daftar
Pustaka



1.      Sumantri,
M.U, kebahagiaan dalam Dhamma,
Majelis Budhayana Indonesia,1980


2.      Stokes,Gilian,
Budha : Seri Siapa Dia?, Jakarta :
Erlangga,2001


3.      Dhamananda,
Sri, Keyakinan Umat Buddha, Yayasan
Pustaka Karaniya, 2005


4.      Panjika,
Rampaian Dhamma, Vihara Buddha Metta,
Jakarta,2004


5.      Maha
Pandita Sumedha Widyadharma, Dhamma Sari,
Jakarta : Yayasan Kanthaka Kencana,1980






[1]
M.U Sumantri, kebahagiaan dalam Dhamma,
hal.225
  
[2] Panjika, Rampaian Dhamma, hal.61

[3]
Gilian Stokes,  Buddha : Seri Siapa Dia ? hal. 67

[4]  M.U Sumantri, kebahagiaan dalam Dhamma, hal.136

0 komentar:

Posting Komentar