Rabu, 23 Mei 2012

Hari suci agama Buddhis

Hari suci Buddhis

Upacara-upacara, baik yang bersifat keagamaan, kemasyarakatan maupun kenegaraan, sebenarnya adalah suatu cetusan hati nurani manusia terhadap suatu keadaan. Dengan sendirinya bentuk-bentuk upacara itu sesuai dengan keadaan, jaman, alam, suasana, selera, dan cara berfikir si pembuatnya atau pelaksananya. Dari berbagai macam upacara yang di lakukan oleh umat buddhis dengan corak ragam yang berlainan bila di teliti mempunyai makna yang sama dalam semua upacara agama Buddha, sebenernya terkandung prinsip-prinsip sebagai berikut :

  1. a.      Menghormati dan merenungkan sifat-sifat luhur triratna
  2. b.      Memperkuat sradha (keyakinan yang benar) dengan tekad
  3. c.       Membina paramita (sifat bajik yang luhur)
  4. d.      Mengulang dan merenungkan kembali khotbah-khotbah sang Buddha goutama
  5. e.       Melakukan anumodana ( membagi perbuatan baik kita pada mahluk lain)

Upacara yang mengandung lima prinsip tersebut telah di jadikan kebiasaaan dan sering di lakukan, dari bentuknya yang sederhana sampai yang rumit. Dengan demikian akan membawa makin seringnya ucapan dan perbuatan kita di tunjukan kepada kebajikan seperti terkendalinya fikiran-fikiran negatif dan berkembangnya fikiran-fikiran fositif,
Secara terperinci manfaat yang langsung dapat di peroleh dari upacara ialah:
  1. Serada akan berkembang
  2. Paramita akan berkembang
  3. Samvara ( indra) akan terkendali
  4. Santutthi (puas)
  5. Santhi (damai)
  6. Sukha (bahagia)

Untuk dapat memiliki manafaat yang sebenarnya maka kita harus melaksanakan upacara yang benar, sesuai denagn makana yang terkandung dalam upacara itu.

*Magha puja

          Hari suci magha puja biasanya jatuh pada purnama sidhi bulan februari-maret . pada hari ini umat Budha memperingati dua kejadian penting dalam masa hidup sang Budha gautama, yaitu :
  1. Berkumpulnya 1250 bhikshu yang telah mencapai tingkat kesucian arhat di vihara veluvana di kota rajagraha untuk memberi hormat pada sang Buddha Gautama keistimewaan yang terjadi sekembalinya menyebarkan Dharma ialah :
  • 1250 bhikshu yang terkumpul itu semuanya arhat
  • 1250 bhiksu itu semuanya adalah Ehi Bhikshu (Bhikshu yang di tahbiskan oleh sang Budha Gautama sendiri)
  • 1250 bhiksu itu semuanya datang tanpa berjanji (persetujuan) terlebih dahulu
  • Pada kesempatan itu sang Buddha Gautama menerangkan prinsip-prinsip ajaran- Nya yang disebut Ovada pratimoksha, yaitu :
v  Sasvapapasya  akaranam         →        Jangan bebuat kejahatan
v  Kusalasyupasampada              →         Berbuatlah kebajikan
v  Svacittaparyavadapanam        →        Sucikan hati dan pikiran
v  Etad Buddhanasasanam         →        Inilah ajaran Buddha
  1. Pada tahun terakhir dari kehidupan sang Budha gautama yaitu sewaktu belia berdiam di cetia pavala di kota vaisali. Setelah beliau memberikan kothbah “idhipada dharma”kepada para siswanya, beliau berdiam sendiri dan membuat keputusan untuk parinirvana tiga bulan kemudian.                        

1. Hari Suci Magha Puja Hari suci Magha Puja memperingati empat peristiwa penting, yaitu :

1. Seribu dua ratus lima puluh orang bhikshu datang berkumpul tanpa pemberitahuan

    terlebih dahulu.
2. Mereka semuanya telah mencapai tingkat kesucian arahat.
3. Mereka semuanya memiliki enam abhinna.
4. Mereka semua ditasbihkan oleh Sang Buddha dengan ucapan “Ehi Bhikkhu”
            Peristiwa penting ini dinamakan Caturangga-sannipata, yang berarti pertemuan besar para arahat yang diberkahi dengan empat faktor, yaitu seperti tersebut di atas. Peristiwa penting ini terjadi hanya satu kali dalam kehidupan Sang Buddha Gotama, yaitu pada saat purnama penuh di bulan Magha (Februari), tahun 587 Sebelum Masehi ( sembilan bulan setelah Sang Buddha mencapai Bodhi). Pada waktu itu, seribu dua ratus lima puluh orang Bhikkhu datang secara serempak pada waktu yang bersamaan, tanpa adanya undangan dan perjanjian sebelumnya ke tempat kediaman Sang Buddha di vihara Veluvana (Veluvanarama, yang berarti hutan pohon bambu) di kota Rajagaha. Mereka datang dengan tujuan untuk memberi hormat kepada Sang Buddha sekembalinya mereka dari tugas menyebarkan Dhamma dan melaporkan hasil penyebaran Dhamma yang telah mereka lakukan tersebut.
Para Bhikkhu yang berkumpul pada peristiwa Magha Puja itu telah mencapai tingkat kesucian yang tertinggi, yaitu arahat. Mereka telah berhasil membasmi semua kilesa atau kekotoran batinnya sampai keakar-akarnya, sehingga mereka dikatakan telah khinasava atau bersih dari kekotoran batin. Mereka tidak mungkin lagi berbuat salah. Mereka telah sempurna.

Mereka memiliki abhinna atau kemampuan batin yang lengkap yang berjumlah enam jenis, yaitu :
1. Pubbenivasanussatinana, yang berarti kemampuan untuk mengingat tumimbal lahir

    Yang dahulu.        
2. Dibbacakkhunana, yang berarti kemampuan untuk melihat alam-alam halus dan
    kesanggupan melihat muncul lenyapnya makhluk-makhluk yang bertumimbal lahir      

    sesuai dengan karmanya masing-masing (mata dewa).
3. Asavakkhayanana, berarti kemampuan untuk memusnahkan asava (kotoran batin).

4. Cetoporiyanana, berarti kemampuan untuk membaca pikiran makhluk-makhluk lain.
5. Dibbasotanana, yang berarti kemampuan untuk mendengar suara-suara dari alam

    apaya, alam manusia, alam dewa, dan alam brahma yang dekat maupun yang jauh.
6. Iddhividhanana, yang berarti kekuatan magis, yang terdiri dari :
 a. Adhittana-iddhi, yang berarti kemampuan mengubah tubuh sendiri dari satu   

  menjadbanyak dan dari banyak menjadi satu.
b. Vikubbana-iddhi, yang berarti kemampuan untuk  “menyalin rupa”, umpamanya

    menyalin rupa menjadi anak kecil, raksasa membuat diri menjadi tidak tertampak.
c. Manomaya-iddhi, yang berarti kemampuan mencipta dengan menggunakan pikiran,

    umpamanya menciptakan harimau, pohon, dewi.
d. Nanavipphara-iddhi, yang berarti pengetahuan menembus ajaran.
e. Samadhivipphara-iddhi, yang berati kemampuan konsentrasi, seperti :
   Kemampuan menembus dinding, tanah, dan gunung.
   Kemampuan menyelam ke dalam bumi bagaikan menyelam kedalam air.
   Kemampuan berjalan diatas air.
   Kemampuan melawan air.
   Kemampuan terbang di angkasa.

2. Hari suci Waisak 


            Hari suci waisak puja biasanya jatu pada purnama sidhi bulai mei- juni. Pada hari suci ini umat Buddha memperingati 3 peristiwa penting dalam masa hidup sang Buddha gautama yaitu :

1. Lahir nya sidharta gautama di taman lumbini, tahun 623 SM
2. Sidarta Gotama mencapai bodhi ( Penerangan Sempurna) dan menjadi Buddha , tahun 588 SM, pada usianya yang ke 35 tahun di bawah pohon ghodhi, hutan gaya
3. Buddha Gotama mencapai Parinivana tahun 543 SM, pada usia 80 tahun, di kusinara atau kusinaraga.

            Peristiwa Suci Waisak mengajak umat Buddha untuk merenungkan dan menghayati kembali perjuangan hidup Buddha Gotama. Seorang Putera Mahkota Siddharta Gotama yang dibesarkan dengan segala kemewahan di dalam istananya, ternyata rela meninggalkan semuanya itu demi cinta kasihnya kepada semua makhluk. Beliau pergi meninggalkan istana bukan karena terpaksa atau dipaksa, juga bukan karena kepentingan pribadi. Beliau pergi meninggalkan istana dan segala kesenangan duniawi karena dorongan untuk mencari sesuatu yang hakiki. Beliau berjuang dengan gigih dan pantang menyerah dalam upaya mencari jalan yang dapat membebaskan makhluk dari segala bentuk penderitaan.

Setelah lama berjuang dengan mempertaruhkan hidupnya sendiri, dengan terakhir melaksanakan Vipassana Bhavana atau Pengetahuan Pandangan Terang di bawah pohon Bodhi seorang diri, akhirnya Beliau berhasil mencapai Dhamma yang maha luhur itu pada tahun 588 Sebelum Masehi. Kemudian, beliau berkelana beratus-ratus ribu kilometer untuk membabarkan Dhamma kepada semua lapisan masyarakat tanpa memandang kasta. Beliau mengajarkan Dhamma kepada para dewa dan manusia. Beliau mengabdi demi kebahagiaan semua makhluk dengan tanpa mengenal lelah selama empat puluh ;lima tahun. Selama itu pula, Beliau tidur hanya satu jam sehari.

            Sesungguhnya, Sang Buddha bukan sekadar Pengajar Dhamma, bukan sekadar pengajar agama, tetapi lebih daripada itu. Sang Buddha tidak hanya mengajarkan jalan menuju kesejahteraan dan kebahagian, tetapi Beliau juga selalu menunjukkan contoh teladan bagi semuanya. Sesungguhnya, Sang Buddha adalah Teladan Agung, Panutan Agung, panutan sejati yang tidak mengharapkan penghargaan dari siapa pun.

            . Hari suci Waisak merupakan hari yang keramat bagi umat Buddha. Hari yang keramat ini pun mengajak umat Buddha untuk menelaah kehidupan masing-masing, untuk senantiasa berpedoman kepada Buddha Dhamma. Sang Buddha memang telah lama mangkat ( tahun 543 Sebelum Masehi ). Namun, hingga kini ajaran Sang Buddha atau Buddha Dhamma tetap abadi. Buddha Dhamma yang dilaksanakan dengan baik akan mencegah manusia dari kemerosotan nilai-nilai moral dan keterjerumusan dalam jurang kebobrokan. Buddha Dhamma tetap merupakan pedoman hidup yang Ampuh dalam perjuangan menghadapi dan mengatasi segala tantangan kehidupan

            Tiap-tiap manusia berjuang untuk mencapai puncak tujuan. Dalam perjuangan itulah, manusia menghadapi tantangan-tantangan, persoalan, dan kesulitan. Tantangan kehidupan ini seringkali menggoncangkan semangat manusia. Namun, peristiwa Suci Waisak akan menumbuhkan semangat baru pada umat Buddha dalam perjuangan menghadapi segala tantangan. Oleh sebab itu, janganlah berpaling dari Buddha Dhamma. Sebab, bila umat Buddha telah berpaling dari Buddha Dhamma, maka semua ketegangan, konflik batin, frustasi, malapetaka, dan kejahatan akan timbul.

3. Hari Suci Asadha


Hari suci Asadha puja biasanyajatuh pada purnamasidhi bulan mei-juni. Pada hari suci ini umat Buddhamemperingati dua peristiwa penting dalam masa hidup sang Buddha sang Buddhagauama yaitu :     
1. Saat pertamakalinya sang Buddha gautama memberikan khotbah setelah beliau menjad uddha, khotbah tersebut di kenal dengan nama “dharmacakrapravartana” atau “ khotbah pemutaran roda kebenaran “ yang berisi catvari arya satyani/empat kesunyataan mulia.
2. Pada saatini pulalah sangha yang pertama muncul di dunia engan sang Buddha gautama sendiri yang bertindak selaku nayaka (ketuan) nya.
            Tepat dua bulan setelah mencapai Penerangan Sempurna, Sang Buddha membabarkan Dhamma untuk pertama kalinya kepada lima orang pertapa di Taman Rusa Isipatana, pada tahun 588 Sebelum Masehi. Lima orang pertapa, bekas teman berjuang dalam bertapa menyiksa diri di hutan Uruvela merupakan orang-orang yang paling berbahagia, karena mereka mempunyai kesempatan mendengarkan Dhamma untuk pertama kalinya. Mereka yang kemudian disebut Panca Vaggiya Bhikkhu ini adalah Kondanna, Bhaddiya, Vappa, Mahanama, dan Assaji.

Selanjutnya, bersama dengan Panca Vagghiya Bhikkhu tersebut, Sang Buddha membentuk Sangha Bhikkhu yang pertama (tahun 588 Sebelum Masehi ). Dengan terbentuknya Sangha, maka Tiratana (Triratna) menjadi lengkap. Sebelumnya, baru ada Buddha dan Dhamma (yang ditemukan oleh Sang Buddha ).

            Tiratana atau Triratna berarti Tiga Mustika, terdiri atas Buddha, Dhamma dan Sangha. Tiratana merupakan pelindung umat Buddha. Setiap umat Buddha berlindung kepada Tiratana dengan memanjatkan paritta Tisarana ( Trisarana ). Umat Buddha berlindung kepada Buddha berarti umat Buddha memilih Sang Buddha sebagai guru dan teladannya. Umat Buddha berlindung kepada Dhamma berarti umat Buddha yakin bahwa Dhamma mengandung kebenaran yang bila dilaksanakan akan mencapai akhir dari dukkha. Umat Buddha berlindung kepada Sangha berarti umat Buddha yakin bahwa Sangha merupakan pewaris dan pengamal Dhamma yang patut dihormati.


             Khotbah pertama yang disampaikan oleh Sang Buddha pada hari suci Asadha ini dikenal dengan nama Dhamma Cakka Pavattana Sutta, yang berarti Khotbah Pemutaran Roda Dhamma. Dalam Khotbah tersebut, Sang Buddha mengajarkan mengenai Empat Kesunyataan Mulia ( Cattari Ariya Saccani ) yang menjadi landasan pokok Buddha Dhamma.                                                       
Cattari Ariya Saccani atau Empat Kesunyataan Mulia itu terdiri atas :

1. Dukkha Ariyasacca, yang berarti Kesunyataan Mulia tentang adanya dukkha.
2. Dukkha Samudaya Ariyasacca, yang berarti Kesunyataan Mulia tentang sebab       dukkha.
3. Dukkha Nirodha Ariyasacca, yang berarti Kesunyataan Mulia tentang lenyapnya

    dukkha
4. Dukkha Nirodha Gamini Patipada Ariyasacca, yang berarti Kesunyataan Mulia tentang Jalan untuk melenyapkan dukkha.

            Sang Buddha mengajarkan bahwa hidup dalam bentuk apapun adalah dukkha atau penderitaan. Umat Buddha tidak boleh menutup mata pada kebenaran tentang adanya penderitaan yang mencengkeram kehidupan ini. Umat Buddha harus menyadari dan mengakui kenyataan bahwa hidup ini adalah penderitaan. Umat Buddha harus menghadapi penderitaan yang datang padanya dengan tabah.

            Selanjutnya, umat Buddha harus berusaha mencabut akar penderitaan itu, agar tidak bertumimbal lahir terus menerus. Sang Buddha mengajarkan bahwa akar atau sebab penderitaan itu adalah tanha atau nafsu-nafsu keinginan rendah yang tidak ada habis-habisnya. Tanha terdiri atas tiga jenis, yaitu :

1. Kama tanha, yang berarti keinginan akan kenikmatan-kenikmatan indria.
2. Bhava tanha, yang berarti keinginan akan kelangsungan atau perwujudan.
3. Vibhava tanha, yang berarti keinginan akan pemusnahan.

            Hanya dengan terpotongnya sebab penderitaan atau tanha sampai keakar-akarnya, maka kebahagiaan tertinggi dapat dicapai. Hanya dengan dilenyapkanya tanha, maka dukkha juga dapat dilenyapkan. Lenyapnya dukkha berarti tercapainya Nibbana.

            Sang Buddha mengajarkan bahwa ada satu jalan untuk membebaskan makhluk dari penderitaan, yaitu Ariya Atthangika Magga (Jalan Mulia Berunsur Delapan). Jalan yang Agung dan Keramat ini hanyalah satu, tetapi terdiri atas delapan unsur yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu dari yang lainnya. Jalan Keramat ini dikenal juga sebagai, Jalan Tengah ( Majjhima Patipada ), karena Jalan ini mengindari dan berada di luar cara hidup yang ekstrim, yaitu pemuasan nafsu yang berlebih-lebihan dan penyiksaan diri.


Ariya Atthangika Magga ini terdiri atas :
1. Samma Ditthi, yang berarti Pandangan Benar.
2. Samma Sankappa, yang berarti Pikiran Benar.
3. Samma Vaca, yang berarti Ucapan Benar.
4. Samma Kammanta, yang berarti Perbuatan Benar.
5. Samma Ajiva, yang berarti Penghidupan Benar.
6. Samma Vayama, yang berarti Daya Upaya Benar.
7. Samma Sati, yang berarti Perhatian Benar.
8. Samma Samadhi, yang berarti Konsentrasi Benar.

            Ariya Atthangika Magga dapat dibagi atas tiga kelompok, yaitu : sila, samadhi, dan panna. Umat Buddha harus mengembangkan latihan sila, samadhi, dan panna dalam kehidupan sehari-hari. Memang tidak mudah untuk melakukan hal ini. Tetapi juga bukan sesuatu yang tidak mungkin. Sila berarti prilaku yang baik atau tingkah laku yang luhur. Sila meliputi tiga bagian dari Ariya Atthangika Magga, yaitu : Samma Vaca, Samma Kammanta, dan Samma Ajiva. Samadhi berarti konsentrasi, yaitu pemusatan pikiran pada satu objek yang baik. Samadhi meliputi tiga bagian dari Ariya Atthangika Magga, yaitu Samma Vayama, Samma Sati, dan Samma Samadhi. Panna berati kebijaksanaan luhur, yaitu mengetahui antara yang benar dan tidak benar, yang berguna dan tidak berguna. Panna meliputi dua bagian dari Ariya Atthangika Magga, yaitu Samma Ditthi dan Samma Sankhappa.

            Sang Buddha telah mewariskan Cattari Ariya Saccani untuk direalisasikan agar dapat melepaskan diri dari siklus kelahiran yang berulang-ulang yang penuh dengan penderitaan ini. Ya...umat Buddha harus berjuang dengan gigih dalam kehidupan sehari-hari, untuk memperkecil sebab-sebab penderitaan, untuk mencapai kebahagiaan setahap demi setahap. Ingatlah, hanya dengan berjuang sungguh-sungguh dalam Dhamma dan Vinaya, barulah orang dapat diri masing-masing.

4. Hari Suci Kathina            
Hari suci kathina puja di rayakan tiga bulan setelah Asadha, perayaan dapat di langsungkanpada dalam waktu satu bulan sesudah hari pertama berakhirnyamasa vassa.

Perayaan hari suci ini di rayakan sebagai ungkapan perasaan terima kasih umat kepada para anggota sangha yang telah menjalankan masa vassa selama tiga bulan di daerah mereka. Pada perayaan ini umat Buddha mempersembahkan kepada anggota sangha, barang-barang berupa jubah, perlengkapan vihara, dan kebutuhan hidup sehari-hari. Hari suci kathina ini merupakan hari bakti umat Buddha kepada sangha.
            Hari Suci Kathina atau Khathina Puja merupakan hari Bakti umat Buddha kepada Sangha.. Sangha merupakan lapangan untuk menanam jasa yang tiada taranya di alam semesta ini. Sangha merupakan pewaris dan pengamal Buddha Dhamma yang patut dihormati. Dengan adanya Sangha, yang anggotanya menjalankan peraturan-peraturan keBhikkhuan (vinaya) dengan baik. Buddha Dhamma akan berkembang terus di dunia ini. Sangha merupakan pemeliharaan kitab Suci Tipitaka / Tripitaka.

            Umat Buddha berterima kasih kepada Sangha dengan menyelenggarakan perayaan Kathina Puja. Umat Buddha berterima kasih kepada para Bhikkhu / Bhikkhuni yang telah menjalankan masa vassa di daerah mereka, dengan mempersembahkan Kain Kathina (Kathinadussam) yang berwana putih sebagai bahan pembuatan jubah Kathina. Dalam Kitab Mahavagga berbahasa Pali, bagian dari Vinaya Pitaka, Sang Buddha mengatakan kepada para bhiksu, ketika Beliau berada di Jetavana Arama milik Anathapindhika, dikota Savantthi, sebagai berikut :

“Aku memperolehkan Anda sekalian, oh para bhikku,
untuk menerima Kain Kathina
sebagai bahan pembuatan jubah Kathina
jika telah menyelesaikan masa vassa”

            Kain Kathina ini biasanya dipersembahkan oleh umat Buddha kepada lima orang Bhikkhu atau lebih yang bervassa bersama-sama di satu vihara. Jika jumlah Bhikkhu yang ber-vasa di vihara itu kurang dari lima orang, maka upacara pemberian Kain Kathina tidak bisa diadakan. Dengan demikian, yang dapat dipersembahkah oleh umat Buddha pada hari suci Kathina itu adalah Dana Kathina (bukan Kain Kathina).

            Dana Kathina dapat berupa jubah atau civara (bukan kain putih) dan barang-barang keperluan Bhikkhu / Bhikkhuni sehari-hari, seperti handuk, sabun, odol, sikat gigi, piasu cukur, obat-obatan, makanan serta perlengkapan vihara. Umat Buddha juga dapat memberikan dana berupa uang yang akan dipergunakan untuk biaya perjalanan Bhikkhu / Bhikkhuni dan lain-lain dalam mengembangkan Buddha Dhamma. Berdana kepada Sangha ibarat menanam benih di ladang yang subur.

            Kathina Puja diselenggarakan selama satu bulan, mulai dari sehari sesudah para Bhikkhu / Bhikkhuni selesai menjalankan masa vassa. Masa vassa adalah masa musim hujan di daerah kelahiran Sang Buddha. Lamanya masa vassa adalah tiga bulan, yaitu sehari sesudah bulan purnama penuh dibulan Asadha (Juli) sampai dengan sehari sebelum hari Kathina (Oktober). Selama masa vassa, para Bhikkhu / Bhikkhuni harus berdiam di suatu tempat (vihara) yang telah ditentukan.

            dalam buku “Ordination Procedure” Somdet Phra Vajirananavarorasa mengatakan bahwa beberapa hari sebelum memasuki masa vassa, para bhiksu dianjurkan untuk membersihkan tempat tinggalnya (vihara). Para bhikshu yang akan tinggal menetap di satu vihara selama masa vassa harus berkumpul diruang Uposathagara untuk membuat suatu pernyataan bahwa mereka berada dalam batas pekarangan vihara setiap malam selama masa vasa. Adapun kalimat yang harus diucapkan adalah “Imasmim avase imam Temasam vassam upema,
‘ yang berati kita akan tinggal dalam perbatasan vihara ini selama tiga bulan masa musim hujan. Selama masa vassa, para Bhikkhu / Bhikkhuni tidak diperkenankan untuk berjalan-jalan keluar jauh dari vihara, kecuali dengan alasan sangat penting dan mendesak. Seorang Bhikkhu hanya diperkenankan meninggalkan vihara, tempat ia ber-vassa dengan ketentuan bahwa dalam jangka waktu tujuh malam harus sudah kembali lagi. Masa vassa seorang Bhikkhu dinyatakan sah apabila tidak melanggar batas waktu yang telah ditetapkan itu.
            Selama masa vassa, para bhikshu / bhikshuni mempunyai tugas untuk membina diri dengan baik. Melalui meditasi dan mempelajari Buddha Dhamma untuk diketahui dan dikhotbahkan kepada orang banyak di dalam kehidupan masyarakat Buddhis. Denagn adanya masa vassa, para Bhikkhu / Bhikkhuni mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk mengisi dirinya dengan Buddha Dhamma dan untuk meningkatkan batinnya ke arah kesucian. Banyaknya masa vassa yang dijalankan oleh para bhikshu / bhikshuni ini menentukan senioritas mereka. Para bhikshu / bhikshuni yang telah menjalankan masa vassa sebanyak sepuluh kali sampai dengan sembilan belas kali akan mendapat gelar “Thera”. Para Bhikkhu / Bhikkhuni yang telah menjalankan masa vassa sebanyak dua puluh kali atau lebih akan mendapat gelar “Mahathera”

            Para bhikshu / bhikshuni berusaha meninggalkan kesenangan-kesenangan duniawi untuk menjalankan kehidupan suci. Mereka berusaha mengikis kilesa atau kekotoran Batin sampai keakar-akarnya, agar mereka dapat mencapai kebebasan sekarang juga. Mereka berusaha mentaati vinaya atau peraturan keBhikkhuan dengan sebaik-baiknya, agar mereka dapat mencapai akhir dari dukkha atau Nibbana secepatnya.
Para bhikshu / bhikshuni hidup amat sederhana. Mereka hanya mempunyai empat kebutuhan pokok, yaitu :

1. Civara atau jubah ; cukup dengan satu model dan satu warna sederhana.
2. Pindapata atau makanan; cukup dua kali atau sekali sehari.
3. Senasana atau tempat tinggal; cukup satu ruangan sederhana, baik diikuti, di gubuk, di gedung, di gua-gua, atau di tempat-tempat lain.
4. Gilanapaccayabhesajja atau obat-obatan.
            Perjuangan seorang bhikshu adalah perjuangan untuk menaklukkan dirinya sendiri. Dengan perjuangan batin itulah, seorang Bhikkhu sekaligus menjadi contoh moral bagi kehidupan umat awam. Karenanya, seorang bhiikhu bukan semata-mata pengabdi sosial. Menjadi pengabdi sosial dapat dilaksanakan dengan tidak harus menjadi Bhikkhu. Seorang Bhikkhu adalah pejuang batin dan contoh moral bagi masyarakat.

*Makna Puja ( Doa)

 Seluruh agama yang terdapat di dunia ini memiliki doa-doa yang di persembahkan umat untuk ditujukan kepada Tuhan. Doa-doa tersebut dilakukan ketika umat melaksanakan kebaktian ataupun upacara keagamaan dan pulalah yang dilakukan umat Buddha.
            Menurut Bhikku Indoguno, Paritta Suci atau doa-doa agama Buddha merupakan kumpulan doa bagi agama Buddha. Doa-doa tersebut dibacakan oleh umat Buddha pada saat kebaktian dan upacara keagamaan. Dalam setiap kebaktian pembacaan paritta dilakukan oleh bhikku. “Pembacaan doa tersebut pun bisa dilakukan secara sendiri-sendiri ataupun secara bersama-sama sesuai keperluan upacara itu sendiri,” ungkapnya. Kata paritta secara berarti perlindungan, paritta berisi syair-syair dalam bahasa Pali yang biasanya memiliki tujuan untuk mendapatkan perlindungan dari bahaya atau ketidakberuntungan.
            Kebaktian adalah salah satu wujud keyakinan umat Buddha terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan upacara merupakan cetusan pikiran manusia untuk melakukan perbuatan baik. “Upacara sendiri dapat dilakukan di vihara atau tempat suci tertentu,” jelasnya.Paritta yang merupakan perlindungan bagi para makhluk akan kehilangan kekuatan karena cacat mereka sendiri. Meskipun demikian umat Buddha tidak perlu khawatir atau takut. Yang terpenting bagi umat Buddha adalah rajinlah membaca paritta setiap pagi dan sore di rumah. “Dengan berbekal kamma baik dan keyakinan yang kuat, semoga nantinya kita dapat mencapai apa yang kita harapkan,” katanya.
            Pada zaman Sang Buddha orang-orang yang mendengar paritta, sabda-sabda Sang Buddha, mengerti apa yang diucapkan, pengaruhnya sangat luar biasa terhadap mereka. Kebiasaan ini masih saja dilakukan hingga sekarang khususnya di negara-negara Buddhis.Menurut Dhamma, pikiran sangat erat hubungannya dengan jasmani, di mana pikiran mempengaruhi kesehatan jasmani. Sejumlah dokter mengatakan bahwa tidak ada suatu penyakitpun yang dikatakan sebagai jasmani yang murni. Oleh karena itu, penting sekali pembacaan paritta sebagai kondisi untuk menjernihkan pikiran.
            Getaran suara yang dihasilkan oleh paritta meredakan kegelisahan dan menimbulkan ketenangan pikiran serta membawa kedamaian secara menyeluruh. Sebagaimana pengaruh buruk yang datang dari pengaruh jahat, dapat ditiadakan dengan membaca paritta. Pengaruh jahat itu sebenarnya hasil dari pikiran jahat, maka ia dapat dihancurkan dengan pikiran baik hasil dari mendengarkan dan yakin akan syair-syair yang terdapat dalam paritta itu.
Oleh karena itu hendaklah umat Buddha melaksanakan kebaktian dengan berdoa kepada Buddha. Kebaktian selalu diadakan pada hari minggu atau hari puasa umat Buddha yang jatuh pada saat bulan mati dan pada saat bulan purnama. “Walaupun dihadiri dan tidak dihadiri bhikku umat Buddha harus tetap melaksanakan kebaktian dirumah mereka masing-masing untuk setiap hari,” pungkasnya.
*Tempat-Tempat yang di Sucikan Dalam Agama Buddha

           Tao berhubungan dengan potalaka, pulau rumah guanyin atau afalokitesafara di dalam tradisi dalam tradisi agama Buddha, tempat-tempat suci dan Buddha adalah sesuatu yang di sakralkan (keramat atau di sucikan) oleh para perkumpulan, para penganut agama Buddha dan para orang sucinya. Berdasarkan sejarah, duplikat tempat ibadah umat Buddha adalah stupa, atau gundukan perkuburan, yang di dalamnya ada peninggalan dari sisa-sisa tulang-tulang Buddha yang dikermasikan. Stupa berfungsi sebagai sesuatu penting untuk tempat-tempat pemujaan, bukan hanya di india utara tapi melintas jauh ke dunia Buddha sebagaimana tempat-tempatibadah yang di gunakan untuk pemujaan, terutama Budha atau bodhisattva-bodhisttava atau bhodisatwa.

            Bukan saja tempat di mana Buddha mencapai kebangkitanya, alam sendiri dapat di anggap sakral bagi umat bhuddha hal ini dapat kita lihat di beberapa negara, seperti tibet, atau tempat geografis lainya, seperti gunung, yang di kaitkan dengan para dewa bhuddha atau gunung juga di kaitkan dengan tempat tinggal dewa-dewa Budha. Hal yang sama juga dapat kita jumpai di negri cina, banyak gunung-gunung yang di kaitkan dengan tempat tinggal dewa-dewa bhuddha bahkan tempat duduk meditasi , seperti replik dari singga sana Buddha, bisa di anggap sesuatu skaral, roger m. Keesing (1976:566) mengatakan bahwa sakral atau sakralisasi adalah proses menjadi keramat atau transisi dari dunia sekular dunia biasa menuju ke dunia keramat, sedangkan keramat adalah berhubungan dengan kekuatan-kekuatan terringgi atau yang melebihi dari kekuatan manusia, yang terdapat di alam semesta, memiliki arti atau suasana keagamaan yang khas.

            Pada kuil Buddha di Borobudur  di  Jawa Tengah, gaya sederhana dari stupa telah di kembangkan menjadi serangkayan balkon yang naik ke atas yang di dekorasi dengan mengacu pada riwayat sudhana, seorang anak muda mahayana berkelana untuk mencari pencerahan. Pada puncak struktur stupa, para pemuja di harapkan pada panggung yang di buka dengan susunan stupa indifidu, masing-masing menampakkan patung Buddha yang sedang duduk di tengah-tengah panggung itu berdiri sebuah patung yang cukup besar, di situ ada stupa, yang melambangkan kemurnian seseorang dan kesadaran Buddha.

            Para penganut Budha india menetapkan suatu tradisi pembangunan kuil yang mengikuti agama hindu. Kuil yang paling awal di bangun adalah di gua, yaitu di india barat.khususnya , pintu masuk gua yang memiliki tempat terbuka yang luas dimana para pemuja atau penganut Buddha bisa duduk atau berdiri di depan stupa kecil atau patung Buddha. Kadang-kadang patung Budha yang terdapat di ruang yang terpisah serupa dengan garbaha-garbaha tau “rumah peranakan” atau ‘womb house’ yang ada di kuil hindu. Baru-baru ini, ada usaha untuk membangun kembali beberapa kuil Buddha di india yang telah hancur di abad ke-12 dan ke-13. Misalnya sesuatu organisasi penganut Budha menyebutnya masyarakat maha bodhi ( kebangkitan yang besar) mencoba memugar kuil tersebut di bodhi gaya, tempat tersebut di mana Budha mencapai kebangkitanya ( Michael D. Coogan 2005: 173).

            Arsitektur kuil Buddha india sangat di pengaruhi seluruh Buddha di dunia, kuil tooth di kandy , sri langka, dan kuil emerald Buddha di bangkok, tailand di keramatkan menjadi raja dari kedua negara dan telah menjadi simbol darikekuasaan raja.kuil jokhang di lahas di bangun untuk menempatkan patung Budha yang tertua di tibet dan berfungsi sebagai suatu pusat jiarah para penganut Buddha di tebet dan dari seluruh dunia. Kuil yang besar di nara, jepang, berperan tegas dalam membangun hubungan di antara budhisme dan dinasti kekaisaran jepang. Hubungan agama bhudha dan agama tradisianal orang jepang (shinto) sangat erat dan saling mempengaruhi satu dan yang lainya.
Bukan saja di asi, pada abad ke 20dan 21 , kuil-kuil Buddha sudah menjadi pandangan umaum di eropa dan amerika utara, los ageles kadang-kadang di sebut sangat kompleks dan kota Budha yang berfariasi di dunia.

            Tempat yang suci yang dibangun oleh para penganut Buddha biasanya memiliki seni asitektur yang luarbiasa, liat saja candiborobudur di jawa tengah. Contoh lain, puncak lengkungan kubah stupa yang berdiri di mountmeru, gunung kosmik bhuddha yang menandai pusat dunia, dan payung-payung di atas stupa melambangkan tingkat surga berbeda pada tradisi india kuno. Di atas payung-payung, ada ruang kosong dari langit-langit, terletak bidang tak berbentuk yang di dapatkan oleh “orang suci” buda di level meditasi tertinggi dan ‘Buddha field’ – merupakan tempat kediaman bhudhas dan bhodisatteva-bhodisatteva yang berasal dari tradisi mahayana. Untuk melaksanakan upacaradi depan stupa bukanlah perkara sederhana, karna memerlukan aturan-aturan tertentu. Upacara itu buakan saja untuk memulakan Buddha, tapi juga untuk menyesuaikan diri di pusat kosmos atau di pusat alam.
            Sebagaimana kita ketahui, daalam tradisi orang india, konsep dari pusat keramat, biasanya di gabungkan dengan singgasana kebangkitan Buddha, atau budhimanda, dibodh gaya. Menurut legenda india yang populer, semua Budha datang ke singgsana yang sama untuk mencapai kebangkitanya. Struktur batu sekarang nampak si bawah pohon bodi di bodh gaya, yang di katakan menjadi puncak dari singgasana dan kemudian turun kepertengahan bumi. Konsep pencerahan yang keramat bisa juga di aplikasikan pada gunung-gunung yang keramat, seperti gunug kailasa di tibet dan gunung wutai di cina, yang mana di puja-puja sebagai singgasana Buddha atau bhodisattvas yang memiliki kekuatan luar biasa.

            Sebaliknya, gagasan tempat duduk yang keramat atau suci juga berlaku untuk tempat yang sederhana yang mana para penganut Budha biasa duduk untuk bermeditasi di situ, para penganut aliran zen mengingatkan mereka (umat Buddha) bahwa tempat di mana mereka duduk untuk melakukan meditasi merupakan singgasana semua Budha dari masalalu dan masa yang akan datang. Jadi,tempat duduk untuk bermeditasi bukanlah tempat biasa tapi mempunyai makna yang cukup kompleks.

            Di dalam tradisi penganut Budha, barang peninggalan dan patung fisik Budha yang di puja-puja ditempat suci merupakan bentuk badanya Buddha atau melambangkan bvadanya Buddha. Ajaranya di kenal sebagai ‘ darma body’, yang juga merupakan objek pemujaan banyak orang. Beberapa dari pengikut mahayana sutra mengatakan bahwa beberapa tempat di mana darma yang di jelaskan seharusnya di berlakukan sebagai ‘ tempat suci Buddha dan naskah-naskah india klasik jua menggambarkan tempat suci Buddha sedangkan duplikat dari mahayana dibuat dengan kemegahan yang besar dan upacara yang besar dan upacara persembahan. Banyak stupa india mengandung naskah-naskah suci di tempat peninggalan Buddha.penghormatan untuk kitab juga terlihat di kuil tibet,dimana duplikat dari mahayana sutra terletak di atas alta persembahan. Setiap orang yang datang ke tempat itu untuk melakukan pemujaan, sama artinya mereka melakukan penghormatan kepada mahayana sutra. Teradisi semacam ini berlangsung dari dulu smapi dengan sekarang.

            Sampai saat ini, pengertian kuil Buddha sangat berbeda-beda, baik di india maupun di negara-negara lain. Sebuah tempat yang di keramatkan yang di kaitkan dengan Budha tidak di tendai dengan monumen arsitektural utama. Banyak cerita musyafir dari india kuno yang menceritakan sedikit banyak tentang peniggalan-peniggalan jaman kuno yang masi ada kaitanya dengan kehidupan Buddha. Banyak kisah yang menyebutkan bahwa batu yang terdapat di sunggaikecil dekat sarnath telah di buat oleh jubah Budha pada saat di melintas sunggai tersebut. Jurang di suatu kota dekat shrafasti yang telah terbuka, di pandang sebagai simbol untuk menelan musuh-musuh Buddha. Di banyak tempat, banyak cara yang di lakukan orang untuk menyembah Buddha, kebanyakan di adam peak di sri langlka. Menurut tradisi teherafada, Buddha menggunakan kekuatan super naturalnya untuk terbang ke srilangka, dan meninggalkan jejak kakinya sebagai tanda kunjunganya. Jejak kaki buda ini menjadi pusat pemujaan banyak orang yang percaya kepada Buddha.

            Dari dulu sampai dengan sekarang tempat-tempat Buddha yang di anggap keramat juga mrnjadi tempat bagi orang banyak untuk melakukan jiarah sebaimana di jelaskan dalam sejarah cina tentang ‘the journey to the west’ (perjalanan ke barat), di mana tempat di india utara berkaita dengan kehidupan Buddha. Ini menunjukan erat kaitanya penyebaran agama Buddha dari india ke cina . para penganut Buddha seluruh asia tenggara mengajurkan jiarah ke tempat-tempat suci Buddha termasuk  adam‘s peak.
para penjarah tibet pergi ke tibet pusat sampai ke tempat suci lhasa, dan mereka melakukan perjalanan yang sanggatmeletihkan ke barat negara untuk melakukan jiarah ke kailasa. Gunung lainnya juga merupakan tujuan jiarah reguler para penganut Buddha. Para penganut Buddha cina melakukan perjalanan ke gunung putuo di pulau kecil dekat pesisir propinsi jeziang untuk memberikan panghormatan pada bhodhisatteva dan mencari kemurahan hati darinya.

            Para penganut Buddha tidak hanya mengkeramatkan tempat-tempat suci yang nyata ada, tapi juga tempat-tempat yang tidak nyata atau tersembunyai, apocalypetic kalac khra tantra (roda waktu), salah satu naskah tantrik yang twrakhir ada di india, menceritakan sejarah kerajaan mistis ( tersembunyi) yang bernama shambbala, yang terletak tersembunyi di salah stu gunung di utara india dan di atur oleh raja Buddha yang budiman.

            Penganut Buddha mensakralkan tempat-tempat di cina yang menggabungkan tiga gunung dengan tiga bhodisatteva utama : gunung wutai, di profinsi shanxi merupakan rumah wenshu (sanskrit, samantabhadra), bhodisatvha amal saleh atau budi luhur; dan gunung putuo di zeziang merupakan rumah guanyin (sanskrit, afalokiteshfara), bhodisattva cinta kasih. Gunung puia.

*SANGHA
             Sangha berarti pesamuan atau persaudaraan para Bhikkhu. Kata Sangha pada umumnya ditujukan untuk sekelompok Bhikkhu. Ada 2 jenis Sangha (persaudaraan para Bhikkhu), yaitu:
  1. Sammuti Sangha = persaudaraan para Bhikkhu biasa, artinya yang belum    mencapai tingkat-tingkat kesucian.
  2. Ariya Sangha = persaudaraan para Bhikkhu suci, artinya yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian.
Pengertian 'Sangha' di dalam Sangha Ratana ini, berarti kumpulan para Ariya atau kumpulan para mahluk suci. Di dalam ajaran Agama Buddha, dikenal adanya mahluk suci, yang disebut dengan istilah Ariya Puggala. Ariya puggala ini ada 4 tingkat, yaitu:
  1. Sotapanna = orang suci tingkat pertama (sotapatti-phala) yang terlahir paling banyak tujuh kali lagi.
  2. Sakadagami = orang suci tingkat kedua (sakadagami-phala) yang akan terlahir sekali lagi (di alam nafsu).
  3. Anagami = orang suci tingkat ketiga (anagami-phala) yang tidak akan terlahir lagi (di alam nafsu).
  4. Arahat = orang suci tingkat keempat (arahatta-phala) yang terbebas dari kelahiran dan kematian).
            Untuk dapat mencapai tingkat-tingkat kesucian, maka mereka harus dapat mematahkan 'belenggu' yang mengikat mahluk pada roda kehidupan. Belenggu ini disebut Samyojana. Ada 10 jenis belenggu yang harus dipatahkan bertahap sehubungan dengan pencapaian tingkat-tingkat kesucian, yaitu:
  1. Sakkayaditthi = kepercayaan tentang adanya diri / kepemilikan / atta yang kekal dan terpisah.
  2. Vicikiccha = keraguan terhadap Buddha dan ajarannya.
  3. Silabbataparamasa = kepercayaan tahyul, bahwa dengan upacara sembahyang saja, dapat membebaskan manusia dari penderitaan.
  4. Kamachanda / kamaraga = hawa nafsu indera
  5. Byapada / patigha = kebencian, dendam, itikad jahat.
  6. Ruparaga = keinginan untuk hidup di alam yang bermateri halus.
  7. Aruparaga = keinginan untuk hidup di alam tanpa materi.
  8. Mana = kesombongan, kecongkakan, ketinggihatian.
  9. Uddhacca = kegelisahan, pikiran kacau dan tidak seimbang.
10.   Avijja = kegelapan / kebodohan batin.
  • Mereka yang telah terbebas dari 1 - 3 adalah mahluk suci tingkat pertama (Sotapanna) yang akan tumimbal lahir paling banyak tujuh kali lagi.
  • Mereka, yang disamping telah terbebas dari 1 - 3, dan telah dapat mengatasi / melemahkan no. 4 dan 5, disebut mahluk suci tingkat kedua (Sakadagami), yang akan bertumimbal lahir lagi hanya sekali di alam nafsu.
  • Mereka yang telah sepenuhnya bebas dari no. 1 - 5, adalah mahluk suci tingkat ketiga (Anagami), yang tidak akan tumimbal lahir lagi di alam nafsu).
  • Mereka yang telah bebas dari kesepuluh belenggu tersebut, disebut mahluk suci tingkat keempat (Arahat), yang telah terbebas dari kelahiran dan kematian, yang telah merealisasi Nibbana (Kebebasan Mutlak).
Selain ditinjau dari 'belenggu' yang mengikat pada roda kehidupan yang harus dipatahkan, pengertian mahluk suci ini juga dapat ditinjau dari segi Kekotoran batin (kilesa)-nya, yang telah berhasil mereka basmi. Ada 10 kilesa yang harus dibasmi sehubungan dengan pencapaian tingkat-tingkat kesucian tersebut, yaitu:
  1. Lobha = ketamakan
  2. Dosa = kebencian
  3. Moha = kebodohan batin
  4. Mana = kesombongan
  5. Ditthi = kekeliruan pandangan
  6. Vicikiccha = keraguan (terhadap hukum kebenaran / Dhamma)
  7. Thina-Middha = kemalasan dan kelambanan batin
  8. Uddhacca = kegelisahan
  9. Ahirika = tidak tahu malu (dalam berbuat jahat)
10.   Anottappa = tidak takut (terhadap akibat perbuatan jahat)
           Sotapanna, dapat membasmi no. 5 dan 6; Sakadagami, dapat membasmi nomor 5 dan 6 serta melemahkan kilesa yang lainnya; Anagami, dapat membasmi nomor 5, 6 dan 2 serta melemahkan kilesa yang lainnya; Arahatta, dapat membasmi kesepuluh kekotoran batin tersebut.
        Di dalam Anguttara Nikaya, Tikanipata 20/267, disebutkan tentang sifat-sifat mulia Sangha, yang disebut Sanghaguna. Ada 9 jenis Sanghaguna, yaitu:
  1. Supatipanno
    Bertindak / berkelakuan baik
  2. Ujupatipanno
    Bertindak jujur / lurus
  3. Nayapatipanno
    Bertindak benar (berjalan di 'jalan' yang benar, yang mengarah pada perealisasian Nibbana)
  4. Samicipatipanno
    Bertindak patut, penuh tanggung jawab dalam tindakannya
  5. Ahuneyyo
    Patut menerima pemberian / persembahan
  6. Pahuneyyuo
    Patut menerima (diberikan) tempat bernaung
  7. Dakkhineyyo
    Patut menerima persembahan / dana
  8. Anjalikaraniyo
    Patut menerima penghormatan (patut dihormati)
  9. Anuttaram punnakhettam lokassa
    Lapangan (tempat) untuk menanam jasa yang paling luhur, yang tiada bandingnya di alam semesta.
           Dalam Tiratana, yang dimaksud Sangha di sini berarti Ariya Sangha. Jadi kita berlindung kepada Ariya Sangha. Kita tidak berlindung kepada Sammuti Sangha; tetapi kita menghormati Sammuti Sangha karena para beliau ini mengemban amanat Sang Buddha sebagai penyebar Dhamma yang jalan hidupnya mengarah ke jalan Dhamma.
            Para Bhikkhu Sangha yang selalu kokoh dalam Dhamma-Vinaya adalah merupakan ladang yang subur juga bagi para umat. Oleh karena itu para umat diharapkan juga bersedia berkewajiban menyokong agar para Bhikkhu Sangha kokoh dalam moralitas dan tindak-tanduknya.
*Ajaran sangha
Dalam naskah-naskah Buddhis dijelaskan bahwa sangha adalah pasamuan dari makhluk-makhluk suci atau ariya-puggala. Mereka adalah makhluk-makhluk suci yang telah mencapai buah kehidupan beragama yang ditandai oleh kesatuan dari pandangan yang bersih dan sila yang sempurna. Tingkatan kesucian yang telah mereka capai terdiri dari sottapati, sakadagami, anagami dan arahat.
Tingkat sottapati adalah tingkat kesucian pertama, dimana mereka masih menjelma tujuh kali lagi sebelum mencapai nirwana. Pada tingkatan ini seorang satopatti masih harus mematahkan belenggu kemayaan aku (sakkayaditthi), keragu-raguan (vicikiccha), dan ketakhayulan (silabataparamasa) sebelum dapat meningkat ke sakadagami. Pada tingkat sakadagami, ia harus menjelma sekali lagi sebelum mencapai nirwana. Ia harus dapat mebangkitkan kundalini sebelum naik ke tingkat anagami.setelah mencapai anagami, ia tidak harus menjelma lagi untuk mencapai nirwana namun harus mematahkan beberapa belenggu yaitu kecintaan yang indrawi (kamaraga), dan kemarahan atau kebencian (patigha) sebelum mencapai tingkat terakhir, yaitu arahat. Setelah mematahkan belenggu kamarag dan patigha, ia kemudian naik ketingkat arahat dan dapat langsung mencapai nirwana di dunia maupun sesudah meninggalnya.
            Selain ke empat tingkat kesucian di atas, dalam kepercayaan Buddha juga di kenal adanya asheka, yaitu orang yang sempurna (sabbanu) yang tidak perlu belajar lagi di bumi ini. Diantara para asheka tersebut adalah Siddharta Gautama yang telah mencapai tingkat kebuddhaan tanpa harus belajar dan berguru kepada orang lain.
Dalam sejarah Buddha, sangha di bentuk sendirioleh Sang Buddha beberapa minggu setelah ia mencapai pencerahan. Anggotanya yang pertama adalah Kondana, Badiya, Wappa, Mahanama dan Asaji, yaitu murid-murid Sang Buddha yang pertama kali. Diantara mereka Kondana adalah muridpertama yang mencapai tingkat arahat.
Sangha adalah inti masyarakat Buddha yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup tertinggi, yaitu nirwana. Dari umat Buddha sangha patut menerima pemberian (ahu-neyyo), tempat berteduh (pahuneyyo), persembahan (dakkhineyyo), penghormatan (anjalikarananiyo), dan merupakan lapangan untuk menanam jasa yang tidak ada taranya di dunia (anuttaram pannakhettam lokassa).
            Menurut kepercayaan umat Buddha, sangha tidak dapat dipisahkan dan dharma dan Buddha, karena kegiatannya adalah Triratna yang membentuk kesatuan tunggal dan merupakan manifestasi berasas tiga dari Yang Mutlak di dunia.
            Kata Tiratana terdiri dari kata Ti, yang artinya tiga dan Ratana, yang artinya permata / mustika; yang maknanya sangat berharga. Jadi, arti Tiratana secara keseluruhan adalah Tiga Permata (Tiga Mustika) yang nilainya tidak bisa diukur; karena merupakan sesuatu yang agung, luhur, mulia, yang perlu sekali dimengerti (dipahami) dan diyakini oleh umat Buddha.
Hubungan antara ketiganya sering digambarkan sebagai berikut : “Buddha sebagai bulan pernama, dharma sebagai sinarnya yang menyinari dunia, dan sagha sebagai dunia yang berbahagia menerima sinar tersebut.”
            Sebagai suatu bentuk masyarakat keagamaan, sangha terbuka bagi setiap umat Buddha untuk memasuki dan bergabung di dalamnya, dengan melalui tahap-tahap tertentu. Tahap pertama di mulai ketika umat Buddha menerima jubah kuning dan memasuki persaudaraan para bhikkhu atau bhikkhuni. Sebelum secara penuh di terima sebagai seorang bhikkhu atau bhikkhuni, ia di haruskan untuk menjalani hidup sebagai calon bhikkhu atau samanera dengan mengucapkan dan menepati “dasa sila atau sepuluh janji”, tekun mempelajari dharma, menggunakan waktu luangnya untuk perenungan suci di bawah asuhan seseorang bhikkhu atau guru (acarya) yang dipilhnya sendiri.setelah ia dapat melakukan semua itu, maka ia di terima secara penuh sebagai bhikkhu dalam suatu upacar penahbisan (upasanampada) yang dihadiri oleh para sesepuh (thera-thera).
            Setelah menjadi bhikkhu ia harus menjalani hidup bersih dan suci seperti yang tertulis dalam Vinaya Pitaka, menjalani 227 peraturan yang garis besarnya adalah:
Peraturan yang berhubungan dengan tata tertib lahiriah;
  • Peraturan yang berhubungan dengan cara penggunaan makanan dan pakaian serta lain-lain kebutuhan hidup;
  • Cara menanggulangi nafsu keinginan dan rangsangan batin;
  • Cara untuk memperoleh pengetahuan batin yang luhur untuk penyempurnaan diri.
                        Dalam masa lima tahun pertama kehidupannya sebagai bhikkhu, ia masih berada dalam ikatan keguruan, dan setelah lebih kurang 10 tahun ia disebut thera.
                        Masyarakat awam umat Buddha terdiri atas upasaka dan upasaki yang telah mengakui Sang Buddha sebagai pemimpin dan guru, mengakui dan meyakini kebenaran ajaranyya, serta berusaha dengan sungguh-sungguh menjalankan. Pengakuan tersebut dinyatakan dalam niat dan tekad untuk berlingung kepada Buddha untuk berlindung kepada Buddha , dharma dan sangha dengan mengucapkan trisarana, yaitu: “Buddhang saranang gacchami, saya berilndung kepada Buddha. Dhamang saranang gacchami, saya berlindung kepada dharma. Sanghang saranang gacchami, saya berindung kepada sangha”. Setelah mengucapkan Trisarana tersebut, seorang upasaka atau upasaki terikat secara rohaniah untuk melaksanakan dan mengamalkan ajaran Sang Buddha dalam kehidupannya sehari-hari.










Daftar pustaka


  • http://hari suci dalam agama hindu. Jakarta.
  • M. Ikhsan tanggok. Agama Budhdha. Lembaga penelitian UIN jakarta. 2009.
  • D.S. Marga Singgih. TRIDHARMA Suatu pangantar. Jakarta, 10 November 1986
  • Handiwijono, Dr. Harun, Agama Hindu dan Budha. Jakarta: Gunung Mulia 1987
  • Ali. A. Mukti, Agama-Agama, Yogyakarta: Hanindita. 1988

0 komentar:

Posting Komentar